REFORMULASI UMUR DAN MASA JABATAN KOMISIONER KPK, BENARKAH UPAYA PENGKONDISIAN PILPRES MELALUI PUTUSAN “MK”…?
Sebelum membuat kehebohan publik melalui cuitan media sosialnya terkait issue adanya Sistem Pemilihan Tertutup melalui Mahkamah Konstitusi. Denny Indrayana (Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM), lebih dulu melontarkan issue soal Judicial Review Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dianggapnya sebagai upaya pengkondisian Pemilu Presiden tahun 2024. Benar atau tidaknya keterangan tersebut perlu kiranya memahami materi putusan judicial review dimaksud.
Permohonan Judicial Review yang diajukan oleh Nurul Ghufron selaku Pemohon dan juga sebagai salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2019-2023. Dalam situs Mahkamah Konstitusi permohonan ini teregister dengan Nomor : 112/PUU-XX/2022, dan objek yang dimohonkan dalam permohonan ini adalah Pasal 29 huruf (e) dan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 29 huruf (e) mensyaratkan calon komisioner KPK “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” dan Pasal 34 menegaskan batas masa jabatan “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”. Nurul Ghufron menganggap Kedua pasal tersebut berdampak pada kerugian konstitusionalnya sebagai Pemohon.
Alasan kerugian konstitusionalnya, yaitu : Pertama, Pasal 29 huruf (e) mengenai syarat umur akan menghalangi Nurul Ghufron untuk kembali mencalonkan diri sebagai komisioner KPK, mengingat sebelum diberlakukan aturan perubahan kedua, syarat umur yang ditentukan adalah minimal 40 (empat puluh) tahun dan pada saat awal terpilih Nurul Ghufron masih berumur 45 tahun dan jika dihitung sampai akhir masa jabatan komisioner KPK yang jatuh pada tanggal 20 Desember 2024 nantinya, umur Nurul Ghufron belum genap 50 (lima puluh) puluh tahun atau dengan kata lain masih berumur 49 (empat puluh Sembilan) tahun. Kedua, Pasal 34 mengenai masa jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun dianggap diskriminatif jika dibandingkan dengan lembaga negara non kementerian lainnya, seperti Komnas HAM, Ombudsman, KPU, yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun.
Kedua objek permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut :
- Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
- Menyatakan pada Pasal 29 huruf (e) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”;
- Menyatakan pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”;
- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Putusan MK ini menuai kritik dari sebagian pakar hukum tata negara salah satunya Denny Indrayana yang menganggap Putusan MK yang mengabulkan masa jabatan pimpinan KPK yang dikabulkan menjadi 5 (lima) tahun, telah mengancam Independensi KPK, bahkan dinilai putusan MK ini sebagai upaya pengkondisian Pemilu 2024.
Menurut penulis, justru jika masa jabatan pimpinan KPK hanya 4 (empat) tahun, hal itu sangat mengganggu independensi KPK. Karena dalam 2 (dua) periode KPK, DPR dan Presiden diberikan kewenangan 2 (dua) kali untuk menetapkan calon Komisioner KPK, tentu ini sangat riskan bagi lembaga independent seperti KPK. Apalagi jika 2 (dua) periode KPK, prosesinya bertepatan dengan momentum politik pileg maupun pilpres.
Oleh karenanya Putusan MK terkait masa jabatan KPK selama 5 (lima) tahun, merupakan langkah yang tepat untuk menjaga Independensi KPK agar terhindar dari campur tangan kekuasaan luar khususnya lembaga DPR RI yang rentan dengan perilaku koruptif.
Kemudian juga terkait syarat minimal umur komisioner KPK. Menurut Penulis, Putusan MK memang lebih cenderung pada kepentingan personal Nhurul Gufron daripada kepentingan penguatan lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi. Namun apa yang dipermasalahkan Nurul Ghufron tetap memiliki manfaat bagi setiap orang atau khususnya calon komisioner lainnya yang memiliki kemampuan dan kelayakan sebagai pimpinan Komisioner KPK yang dibekali dengan pengalaman yang cukup.
Dan lagi pula pembentukan undang-undang yang mencantumkan syarat umur, tidak pernah dimengerti oleh publik, bahkan pembuat undang-undang juga tidak mengerti apa dan kenapa harus mencantumkan syarat umur seperti yang ada pada beberapa aturan perundang-undangan termasuk UU KPK. Dalam UU KPK sebelum dan sesudah perubahan kedua mengalami perubahan syarat minimal umur 40 (empat puluh) tahun menjadi 50 (lima puluh) tahun. Hal ini harusnya diberikan penjalasan secara filosofi dan sosiologis, sehingga publik dapat mengerti alasan dalam ketentuan dimaksud.
Dan tentunya perubahan syarat minimal umur pada aturan perubahan kedua UU KPK berdampak pada kerugian konstitusional secara aktual maupun spesifik terhadap Nurul Ghufron karena akan menghalanginya untuk mencalonkan diri kembali sebagai Pimpinan KPK. Karena lembaga Independent seperti KPK, posisi Komisioner tidak boleh habis secara bersamaan atau dengan kata lain salah satu atau beberapa incumbent harus dipilih kembali. Mungkin saja, atas dasar hal itu juga MK menyatakan Pasal 29 huruf (e) bertentangan secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”;
Dengan demikian menurut penulis, reformulasi umur dan masa jabatan Pimpinan KPK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, bukanlah suatu upaya pengkondisian kepentingan Pemilu, justru lebih menjaga independensi KPK dari campur tangan kekuasaan Legislatif dan Yudikatif.